Thursday, July 11, 2024

Menyusuri Makna dan Imajinasi di NuArt Sculpture Park Bandung

 


Kiri: Rush Hour II (1992), Kanan: Gelora III (2017)

Bandung selalu punya kejutan, terutama bagi pencinta seni dan ruang refleksi. Salah satu tempat yang paling membekas dalam kunjunganku adalah NuArt Sculpture Park, sebuah taman seni yang bukan hanya memanjakan mata, tapi juga mengajak berpikir lebih dalam.

Begitu memasuki area NuArt, saya langsung merasa seperti melangkah ke dunia yang berbeda. Di antara pepohonan dan taman yang rimbun, berdiri patung-patung besar dengan bentuk yang tak biasa, kadang abstrak, kadang sangat manusiawi. Setiap karya seolah punya cerita sendiri, menunggu untuk dibaca lewat mata dan hati.

NuArt adalah hasil karya dari Nyoman Nuarta, seniman patung ternama Indonesia. Tapi lebih dari sekadar galeri, tempat ini terasa seperti ruang dialog antara seni, alam, dan pengunjungnya.

Kiri: Dewi Zalim (2015), karya yang dibuat sebagai bentuk kritik terhadap ketidakadilan hukum di Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi ketika Nyoman Nuarta berhadapan dengan kasus pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana.

Kanan: Durjana (2008), terbuat dari bahan tembaga dan kuningan. Tangan kanan patung yang dihinggapi seekor burung menunjukkan kesan manusia yang lembut terhadap makhluk hidup, tetapi tangan kiri yang bersembunyi di balik badannya, memegang sebilah pisau. Sebuah metafora dua sisi yang dimiliki manusia.

Kiri: Nightmare (2000), tragedi kerusuhan 14 Mei 1998 menyisakan pilu dan duka mendalam untuk Indonesia. Banyak korban berjatuhan, khususnya kaum wanita yang banyak mengalami kekerasan secara fisik maupun verbal. Nyoman Nuarta merasa kecewa dan marah, hingga akhirnya beliau mengekspresikan kemarahannya melalui karya Nightmare. Nightmare menggambarkan sosok wanita yang telah terkoyak, tetapi gestur yang dimunculkan tidak dalam posisi menyerah. Ia terlihat seperti menantang. Melalui gestur tubuh wanita inilah Nyoman Nuarta menyuarakan kemarahannya terhadap para pelaku kekerasan dalam tragedi tersebut. 

Kanan: Leleson (1990), kita, manusia, mempunyai otak dan pikiran yang akan terus bekerja. Sekalipun kita sedang beristirahat atau tidur. Dalam karya Nyoman Nuarta berjudul Leleson ini, beliau mencoba untuk menggambarkan hal tersebut melalui gestur tubuh wanita yang sedang berbaring ini. Terlihat nyamankah ia dengan posisi itu? Akan nyenyak kah tidurnya? Kita sebagai penikmat karya ini, sudah pasti akan menarik kesimpulan yang tidak jauh berbeda.

Di dalam galeri utama, saya menemukan berbagai karya yang memancing rasa ingin tahu. Ada patung logam yang menggambarkan tubuh manusia dalam bentuk yang terdistorsi, ada instalasi yang menyuarakan isu sosial, dan ada juga karya yang terasa sangat personal. Setiap sudut galeri seperti mengajak untuk berhenti sejenak dan bertanya: Apa makna di balik ini? Apa yang ingin disampaikan senimannya?

Yang menarik, tidak ada penjelasan panjang di setiap karya. Justru itu yang membuat pengalaman jadi lebih dalam, karena kita diajak untuk menafsirkan sendiri, sesuai dengan pengalaman dan perasaan masing-masing. Setelah berkeliling, saya duduk di kafe kecil di area taman. Sambil menikmati kopi dan camilan ringan, saya memandangi patung-patung di kejauhan.

NuArt Sculpture Park bukan sekadar tempat melihat patung. Ini adalah ruang untuk merasakan, merenung, dan mungkin menemukan kembali sisi diri yang jarang kita ajak bicara. Cocok untuk siapa pun yang ingin menikmati seni dengan cara yang lebih personal dan bermakna.


Kiri: Condemned (1988), sebuah karya yang menggambarkan keadaan ketika seseorang sedang meratapi hidup dan nasibnya. Sebuah ganjaran harus ia dapatkan atas kejahatan yang telah ia lakukan. Kedua kursi kosong di sebelahnya adalah kursi-kursi yang sebelumnya ditempati oleh orang-orang yang bernasib sama dengan dirinya.

Kanan: Stress (1988), tahun 1988 adalah tahun dimana Orde Baru masih berkuasa di Indonesia. Berbagai tragedi banyak terjadi di masa ini, termasuk pembatasan kebebasan seniman Indonesia untuk dapat mengekspresikan diri melalui karyanya. Nyoman Nuarta memilih untuk menghasilkan karya-karya yang berbentuk kritik terhadap pemerintah ataupun menggambarkan keadaan rakyat Indonesia saat itu. Karya Stress merupakan gambaran kekecewaan dan ketidakmampuan rakyat.


Kiri: Manusia Bersayap/Right & Alert (1991), dalam karya ini, Nyoman Nuarta mencoba untuk menggambarkan sosok laki-laki berjas dan rapi seperti seorang pejabat, dengan sayap malaikat berada di sisi kanannya. Ia terlihat seperti sedang waspada terhadap keadaan sekitarnya yang berusaha untuk menjerumuskannya.

Kanan:  La Madame (1993), pengalaman Nyoman Nuarta ketika berkunjung ke Paris, Perancis, memberikan kesan tersendiri. Khususnya ketika Nyoman Nuarta melihat perempuan-perempuan Paris berbalut busana modis dan elegan. Kesan tersebut pun berubah ketika Nyoman Nuarta mengetahui adanya sifat keangkuhan dan kesombongan, sifat-sifat yang dihadirkan kembali dalam impresi karya La Madame.


 Kiri: Miniatur GWK (2006), Patung Garuda Wisnu Kencana adalah patung tertinggi ke-3 di dunia dan terbesar nomor satu di dunia karena ketinggiannya yang mencapai 121 meter dengan lebar 64 meter. Patung Garuda Wisnu Kencana memiliki berat 3000 ton. Pengerjaan patung ini membutuhkan waktu 28 tahun, yang melibatkan 1000 karyawan. Pembangunan dimulai dari tahun 1993, hingga akhirnya selesai dan diresmikan pada tanggal 22 September 2018.

Kanan: Borobudur III (2020) Borobudur adalah salah satu seri masterpiece Nyoman Nuarta. Borobudur III dibuat seolah-olah seperti melayang, bagian bawahnya larut menjadi sulur-sulur kawat. Struktur seperti ini dibuat sebagai representasi kesementaraan spiritual yang melebihi kepentingan manusia. 

 

Kiri: Oplosan (2016), tahun 2016 adalah tahun ketika banyak terjadi kasus minuman beralkohol yang dicampur zat kimia berbahaya. Kasus ini memakan banyak korban, yang kemudian menginspirasi Nyoman Nuarta untuk membuat karya berjudul Oplosan. 

Kanan: Armageddon (2005), sebuah gambaran bencana besar yang muncul dalam imajinasi Nyoman Nuarta menghasilkan sebuah karya berjudul Armageddon. Armageddon berbentuk seperti ombak besar yang siap menghantam makhluk hidup di hadapannya.


Kiri:December Wind I (1989), karakter angin menjadi sebuah ciri khas bagi karya-karya Nyoman Nuarta. December Wind I adalah satu seri karakter angin.

Kanan: Gossip III (2017), karya ini mengangkat gagasan yang berkaitan dengan aktivitas penjaga malam yang seringkali duduk bersama dan mengobrol saat sedang bertugas. Secara implisit, Nyoman Nuarta menggambarkan konspirasi kejahatan yang dilakukan secara rahasia.

Kiri: Cupid (2015), perang Timur Tengah menjadi inspirasi Nyoman Nuarta untuk membuat karya 
Cupid. Karya ini merupakan simbol cinta dan kasih sayang bagi korban dalam peperangan tersebut. 

Kanan: Searching for God II (1988.

Kiri: Miniatur Jalesveva Jayamahe

Kanan: Gentle Giant (1994), salah satu inspirasi Nyoman Nuarta dalam membuat sebuah karya adalah peristiwa alam yang menyangkut habitat di dalamnya. Nyoman Nuarta seringkali merasa geram dengan keegoisan dan kesemena-menaan manusia yang menghancurkan alam dan berburu hewan demi kekayaan. Oleh karena itu, melalui karya ini, Nyoman Nuarta mengkritisi kasus perburuan paus yang hampir punah keberadaannya.

No comments:

Post a Comment